Oleh: Diakon Ambrosius Warasaman Bille
Keuskupanagats.or.id – Layak disayangkan dalam terbitan-terbitan dan karya-karya tulis tertentu, beberapa Teolog dalam upaya dialog ekumenis belakangan ini sudah menjadi lazim menggunakan ungkapan “Gereja-Gereja sesaudari” untuk menunjukkan Gereja Katolik di satu pihak dan Gereja Ortodoks di pihak lain, untuk mengantar umat supaya berpikir bahwa de facto Gereja Kristus tidak berada dan dapat ditetapkan ulang melalui perdamaian kedua Gereja sesaudari.
Ada pula kelompok tertentu yang menerapkan secara tidak tepat hubungan antara Gereja Katolik di satu pihak dan Persekutuan Anglikan serta jemaat-jemaat gerejawi non-Katolik di pihak lain.
Muncul “teologi Gereja-Gereja sesaudari atau eklesiologi sesaudari” sebagai tanggapan namun bercorak rancu tak bermakna orisinal akurat sesuai dokumen magisterium. Mengatasi ekuivokasi dan kerancuan itu, Kongregasi untuk Ajaran Iman memberi arah dan dasar pemahaman yang benar tentang penggunaan ungkapan “Gereja-Gereja sesaudari” yang telah disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II dalam audiensi tanggal 9 Juni 2000.
a. Asal mula dan Perkembangan Ungkapan “Gereja-Gereja Sesaudari”
Ungkapan “Gereja-Gereja sesaudari” sering terdapat dalam dialog ekumenis, terutama dalam dialog antarumat Katolik dan Ortodoks. Legitimasi makna “Gereja-Gereja sesaudari” dan akurasi penggunaan istilah ini didasarkan pada ajaran Konsili Vatikan II dan magisterium kapausan pasca konsilier. Istilah “Gereja-Gereja sesaudari” tidak begitu saja nampak di dalam Perjanjian Baru. Istilah ini tampak dalam hubungan-hubungan sesaudari yang berlangsung antara Gereja-Gereja setempat umat Kristiani masa kuno. Surat Kedua Yohanes menyatakan: “Putra-putra saudari anda menyampaikan ucapan salam mereka” (2 Yoh. 13). Salam itu dikirim oleh jemaat gerejawi -yang menyebut dirinya “saudari” jemaat lain- kepada jemaat gerejawi lainnya.
Dalam sastra Kristiani, ungkapan “Gereja-Gereja sesaudari” mulai digunakan di Timur di mana gagasan “pentarki” makin lazim pada abad V. Ada 5 Patriark (Baterik) sebagai kepala Gereja, sedangkan Gereja Roma merupakan posisi pertama di antara Gereja-Gereja patriarkal sesaudari. Ungkapan yang sama muncul dari dua surat Metropolitan; Nicetas di Nikomedia (tahun 1136) dan Patriark Yohanes Camaterus (pejabat dari tahun 1198-1206) yang memprotes bahwa Roma dengan memperkenalkan diri sebagai “Ibunda dan Guru”, akan meniadakan kewenangan mereka. Bagi mereka, Roma hanyalah salah satu dari antara “saudara-saudari” yang bermartabat setara.
Konsili Vatikan II mengenakan ungkapan “Gereja-Gereja sesaudari” untuk menggambarkan relasi antara Gereja-Gereja setempat. Dokumen kepausan pertama yang menerapkan istilah “saudara-saudari” pada Gereja-Gereja itu ialah surat apostolik “Anno Ineunte” Paus Paulus VI kepada Patriark Athenagoras I. Paus menanyakan kepada Athenagoras: “karena misteri ilahi itu berkarya dalam setiap Gereja setempat, maka bukankah alasan itu demi ungkapan tradisional “Gereja-Gereja sesaudari”, yang oleh Gereja-Gereja di pelbagai tempat digunakan untuk menyambut satu sama lain? Ungkapan ini pula sering digunakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam pelbagai pidato dan dokumen-dokumen.
Dalam ensiklik “Slavorum Apostoli”, Paus Yohanes Paulus II menulis: “Bagi kita, mereka itu (Cyrillus dan Methodius) merupakan pendekar-pendekar pun juga pelindung-pelindung usaha ekumenis Gereja-Gereja sesaudari Timur dan Barat, untuk menemukan ulang melalui doa dan dialog kesatuan yang kelihatan dalam persekutuan yang sempurna dan menyeluruh.” Dalam surat tahun 1991 kepada para Uskup di Eropa, Paus Yohanes Paulus II menulis: “Oleh karena itu hubungan-hubungan dengan Gereja-Gereja itu (yakni Gereja-Gereja Ortodoks) hendaklah dikelola, seperti di antara Gereja-Gereja sesaudari lainnya, untuk mengangkat ungkapan Paus Paulus VI dalam suratnya kepada Patriark Konstantinopel, yakni Athenagoras I.
Dalam Ensiklik “Ut unum sint” artikel no.56 dikatakan: “Menganut Konsili Vatikan II serta dalam sorotan tradisi sebelum itu, telah menjadi lazim lagi untuk menunjuk kepada Gereja-Gereja yang khas atau setempat, yang berhimpun mengelilingi para Uskup mereka bagai “Gereja-Gereja sesaudari”. Demikian pula dalam artikel no. 60 tertulis: “Lebih resen lagi, komisi internasional gabungan menempuh langkah maju yang berarti mengenai masalah yang sangat sensitif menyangkut metode yang harus ditempuh dalam menetapkan ulang persekutuan yang purna antara Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks.”
b. Beberapa Pedoman Tentang Penggunaan Ungkapan “Gereja-Gereja Sesaudari”
Kenyatannya, dalam arti sesungguhnya, “Gereja-Gereja sesaudari” eksklusif ialah Gereja-Gereja khusus (atau kelompok-kelompok Gereja-Gereja khusus; misalnya, patriarkat-patriarkat atau provinsi-provinsi metropolitan) di antara mereka sendiri. Sementara Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Universal Apostolik bukanlah saudari, tetapi “Ibunda” bagi semua Gereja-Gereja khusus.
Dalam kaitan dengan Gereja-Gereja khusus yang Katolik dan bukan Katolik, Gereja khas Roma dapat disebut “saudari” bagi “semua Gereja-Gereja khusus” lainnya. Tetapi harus tetap diingat bahwa tidak dapat sungguh cocok dikatakan bahwa Gereja Katolik itu saudari bagi “suatu Gereja khusus atau kelompok Gereja-Gereja.” Hal ini bukan melulu soal “terminologi”, melainkan terutama soal menghargai kebenaran mendasar iman Katolik yakni “kebenaran unitas (keunikan) Gereja Yesus Kristus. Kenyataannya, hanya terdapat satu-satunya Gereja. Oleh karena itu istilah majemuk Gereja-Gereja hanyalah menunjuk kepada Gereja-Gereja khusus.
Konsekuensi logisnya adalah perlu dihindari sebagai sumber salah paham dan kekaburan teologis, penggunaan perumusan-perumusan seperti “dua Gereja kita” yang mencakup pluralitas tidak semata-mata pada level Gereja-Gereja khusus, tetapi juga pada tingkat Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik, yang diakui dalam syahadat iman, yang kalau begitu eksistensinya dikaburkan. Akhirnya hendaklah diperhatikan bahwa ungkapan “Gereja-Gereja sesaudari” dalam arti sesungguhnya, seturut kesaksian Tradisi bersama Timur dan Barat, hanyalah dapat digunakan bagi jemaat-jemaat gerejawi, yang telah melestarikan eposkopat dan Ekaristi yang sesungguhnya.
DOKPEN KWI. Gereja-Gereja Sesaudari (Sister Churches) dan Dominus Iesus: Jakarta, 2001
Dokumen Konsili Vatikan II. Tonggak Sejarah-Pedoman Arah. Obor, 1989.
Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi: Kanisius, 1996.
Editor: Peter Letsoin