Posted on: 23/12/2020 Posted by: Kevin Sanly Putera Comments: 0

Sebelum pandemi covid-19, ritual keagamaan umat katolik dilaksanakan dalam ruang perjumpaan luring (offline). Banyak pula orang yang terlibat di dalamnya, terutama saat paskah dan natal. Paus Pius X dalam motu proprio-nya pada 1903, Tra le sollecitudini, menggunakan istilah “participation actuosa”, artinya: partisipasi aktif. Ditarik ke konteks partisipasi di gereja, umat dulu ikut aktif dalam banyak aktivitas, bahkan sampai ke tingkat mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan melalui sebuah perjumpaan, secara offline.

Kini, para uskup, pastor, suster, bersama kita -umat Katolik- merayakan ekaristi dan doa Rosario secara daring (online). Meski ber-‘tatap muka’, tetap rasanya sepi karena tidak ada timbal-balik, tidak komunikatif. Misalnya waktu pastor mengatakan “Tuhan sertamu..”, umat menjawab “dan sertamu juga”. Meski kita menjawab masing-masing, tentu tidak bisa saling mendengar. Saya merefleksikan sebuah kesamaan antara fenomena ini dengan zaman dulu, ketika Yesus masih di dunia. Sekarang kita tidak melihat Yesus, tapi pada waktu itu, Yesus bisa dilihat, bisa didengar, bisa diajak debat, bisa berdialog, bisa diminta tolong kalau ada orang sakit yang minta disembuhkan. Pokoknya Yesus hadir secara jasmani selama di dunia ini.

Pasca peristiwa penyelamatan dan kenaikan-Nya, Yesus tidak lagi secara fisik ada bersama para murid-Nya. Saya berpikir, “Bagaimana Gereja perdana -orang-orang Kristen perdana (bdk. Kis 11:26)- menghayati hubungan dengan Yesus yang tadinya bertatap muka, menjadi tidak?”

HUT ke-51 Keuskupan Agats-Asmat

Ketika Yesus menampakkan diri kepada Sta. Maria Magdalena (bdk. Yoh 20:11-18) sesudah kebangkitan-Nya, Yesus bersabda “noli me tangere” yang artinya “Janganlah engkau memegang Aku..”. Para ekseget mengatakan bahwa sebenarnya Yesus meminta supaya murid-muridnya termasuk Maria Magdalena untuk mengembangkan sebuah bentuk relasi baru dengan Yesus, yang tidak lagi jasmani dan spasial.

Saya menangkapnya, Yesus meminta kita untuk membangun cara berhubungan yang baru dengan-Nya, yang tetap terkait pada tiga hal:

Pertama, ekaristi. Dalam Injil Lukas 24:13-35, dikisahkan bagaimana dua murid Yesus yang sementara menuju Emaus dan tidak mengenali-Nya; setidaknya sampai Yesus berbicara kepada mereka, mengajar tentang Diri-Nya dalam kitab Musa dan para nabi (bdk. ay. 27). Ketika Yesus mengambil roti, mengucap berkat, dan membagikan roti kepada mereka (ay. 30), barulah mata mereka terbuka dan mengenali Yesus. Pengajaran Yesus bahkan membuat hati mereka berkobar-kobar (bdk. ay. 32). Ahli kitab suci mengangkat ini sebagai lambang Ekaristi. Ketika Yesus mengulang kembali apa yang Ia lakukan pada perjamuan terakhir (yang mana sama dengan peristiwa di Emaus dan apa yang kita rayakan setiap minggu), barulah para murid mengenali-Nya. Pada konteks kita, ketika kita mengikuti Ekaristi, barulah kita bisa mengenali-Nya benar-benar. Yesus membantu para murid untuk membangun dua jenis hubungan: anamnesis dan mimesis. Anamnesis artinya pengenangan, sekaligus menghadirkan. Dia itulah yang kita kenangkan, yang juga hadir, ada, menyertai, dan selalu menyertai (Immanuel). “Mimesis” itu meniru kembali apa yang sebelumnya dibuat oleh Yesus, ya mengikuti Ekaristi.

Kedua, sabda-Nya. Injil itu Verbum Dei, sabda Allah. Sabda Tuhan itu adalah Yesus Kristus Sendiri (bdk Yoh 1:1). Saat Yesus masih bersama para murid, mereka dapat mendengar Yesus secara langsung. Setelah Yesus naik ke surga, mulai dirasakan kebutuhan untuk menulis perkataan Yesus sebagai pengingat akan ajaran dan pesan-Nya. Maka dari Kitab Sucilah, kita bisa merenungkan kembali apa yang Yesus kehendaki dalam hidup kita.

Ketiga, persekutuan kasih-Nya. Begitu banyak penyesuaian dalam ritual keagamaan kita, tapi sepatutnya kita tidak merasa bersalah jika kita tidak bisa ke gereja secara fisik. Justru, sekarang ini kita punya banyak waktu untuk bersekutu dengan Allah. Pasalnya, Yesus sendiri bersabda, “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:6).

Meskipun kita tidak bisa menghadiri dan mengekspresikan iman kita secara fisik, bukan berarti kita berhenti beriman. Mari kita tetap percaya, tetap berdoa secara pribadi kepada Tuhan yang kita puja, dan memaknai kembali ritual keagamaan di tengah pandemi, secara daring (online).

Penulis: Gorgorius Sanpai. Gorgorius (akrab disapa Gorys) adalah OMK Katedral Salib Suci Agats. Ia juga anggota PMKRI cabang Bandung. Gorys kini bekerja di Bawaslu Kabupaten Asmat.

Editor: Kevin Sanly Putera

Leave a Comment