Posted on: 10/12/2021 Posted by: RD Lorenz Kupea Comments: 0
Keuskupan Agats

Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) se-Papua mempertanyakan pernyataan politik dari Bapa Ignasius Kardinal Suharyo di Majalah Tempo (Online), 29 November 2021, “Sikap gereja Katolik yang resmi terhadap masalah Papua itu sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah, karena dijamin undang-undang internasional”[1].

Sikap dan pilihan politik Bapa Ignasius Kardinal Suharyo tidaklah lengkap dan tampak mengabaikan laporan-laporan dari SKP se-Papua selama ini, sebab otoritas tertinggi Gereja berada di bawah ordinaris wilayah atau uskup lokal.[2] 

SKP se-Papua yang terdiri dari SKP Keuskupan Agung Merauke, SKP Keuskupan Agats, SKP Keuskupan Timika, SKPKC Agustinian dan SKPKC Fransiskan Papua menilai bahwa pernyataan Kardinal Suharyo itu berarti juga mendukung kebijakan pendekatan keamanan/militer yang selama ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia di Tanah Papua, sedangkan sejak tahun 2002 Gereja Katolik di Tanah Papua sudah mendorong dialog damai untuk mencari solusi penyelesaian konflik di Tanah Papua. Di tahun 2005, Gereja Katolik di Tanah Papua bersama elemen masyarakat lainnya di Tanah Papua (lembaga keagamaan, TNI Polri) mendeklarasikan Papua Tanah Damai.

Pada 20 tahun belakangan ini, SKP se-Papua telah berulang kali melaporkan situasi di Tanah Papua kepada semua pihak termasuk KWI.  Laporan-laporan ini selalu disampaikan dalam pertemuan rapat tahunan, rapat pleno tiga (3) tahunan KKP PMP KWI maupun dalam pertemuan KWI lainnya. Beberapa kasus yang baru dilaporkan oleh SKP se-Papua seperti Kasus Pembunuhan terhadap 3 warga sipil oleh militer di Rumah Sakit Sugapa Intan Jaya. Selain itu ada juga laporan situasi konflik terkini di Intan Jaya, berdampak pada terjadinya pengungsian masyarakat sipil, yang menjadi tanggungjawab Gereja Katolik Keuskupan Timika. Laporan-laporan ini diserahkan langsung oleh SKP Timika kepada Bapa Ignasius Kardinal Suharyo, pada 7 April 2021, 10.00 -12.00 WIB. Laporan lainnya adalah peristiwa penembakan oleh TNI terhadap 5 warga sipil (4 tewas dan 1 cacat permanen) di Distrik Fayit, Kabupaten Asmat. Laporan ini juga ditandatangani langsung oleh Mgr. Aloysius Murwito, Uskup Keuskupan Agats.

“KWI tidak lagi mempunyai alasan untuk mengatakan tidak mendapat informasi apapun dari keuskupan-keuskupan di Tanah Papua,” pungkas Koordinator SKP Keuskupan Timika Saul Wanimbo.

Laporan-laporan SKP se-Papua yang disertai data dan fakta di Tanah Papua yang isinya menolak pendekatan keamanan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan merekomendasikan dialog damai demi kebaikan dan kedamaian di Tanah Papua. Laporan-laporan ini, di satu sisi bersifat informatif bagi KWI yang jauh dari situasi konkret di Tanah Papua, di sisi lain menjadi landasan bagi arah advokasi dan keberpihakan KWI terhadap orang di Tanah Papua. Nampaknya KWI terlalu takut atau berhati-hati dengan pemerintah, sehingga temuan-temuan dari jaringan akar rumput kelompok gereja atau umat di Tanah Papua tidak ditindaklanjuti oleh KWI.

Kardinal Suharyo juga menyinggung soal “undang-undang internasional” sebagai landasan dukungan terhadap “sikap pemerintah” soal Papua. Hal ini juga bermasalah. Sebagai Negara Pihak dari delapan hukum perjanjian HAM internasional dan anggota PBB, Indonesia selalu disorot oleh badan-badan HAM internasional terkait masalah pelanggaran HAM di Papua yang tidak hanya jumlahnya meningkat, tetapi juga minim akuntabilitas dari negara. Ini paling tidak selalu keluar dari hasil evaluasi Indonesia di bawah Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik dan Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Anti-Penyiksaan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, dan baru-baru ini Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Dalam berbagai review atau penilaian yang dilakukan badan-badan HAM internasional tersebut Indonesia selalu diulang-ulang masalah pembunuhan di luar proses hukum oleh aparat keamanan, penangkapan dan penahanan semena-mena terhadap ekspresi politik damai, buruknya pelayanan Kesehatan dan pendidikan, investasi ekonomi yang mengabaikan  konsultasi bermakna dengan masyarakat adat setempat dan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, hingga minimnya tanggung jawab negara terhadap para pengungsi internal karena intensitas konflik bersenjata antara pasukan keamanan dan kelompok pro-kemerdekaan bersenjata. Jelas Indonesia masih tidak mematuhi hukum HAM internasional.

Berdasarkan penjelasan di atas, SKP se-Papua mendesak beberapa hal:

  1. Ketua KWI Bapa Ignasius Kardinal Suharyo hendaknya dalam menyampaikan pernyataan sikap yuridis politis harus juga disertai sikap pastoral dalam semangat koordinasi dengan uskup setempat berkaitan situasi konflik di Tanah Papua.
  2. Konferensi Wali Gereja Indonesia hendaknya menggunakan laporan-laporan SKP se-Papua sebagai bahan rekomendasi kritis ke Pemerintah Indonesia terkait Kebijakan untuk Tanah Papua.
  3. Pemerintah Indonesia hendaknya mendengarkan masukan-masukan uskup-uskup di Tanah Papua sebagai ordinaris wilayah yang paham karena mengalami situasi umat di Tanah Papua.

Timika, 9 Desember 2021

P. Bernard Baru, Direktur SKP-KC Agustinian

Saul Wanimbo, Koordinator SKP Keuskupan Timika

P. Linus Dumatubun, Pr. Direktur SKP Keuskupan Agats

Yuliana Langowuyo, Direktur SKPKC Fransiskan Papua

Narahubung:

  1. Saul Wanimbo: 08138817282
  2. P. Bernard Baru, OSA: 082134021636

[1] Lihat https://nasional.tempo.co/read/1533986/bertemu-ketua-kwi-muhaimin-iskandar-diskusi-solusi-bagi-papua

[2] Lihat Kanon No. 353-360 yang mengatur tugas Kardinal dalam hubungan dengan Vatikan.

Leave a Comment