Panggilan dari Allah dan tanggapan manusia terhadap-Nya adalah dua hal yang saling berhubungan erat. Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya (Kej. 2:18). Artinya, kehidupan manusia bahkan awal mula terbentuknya ikatan relasi antara laki-laki dan perempuan adalah pertama-tama sebuah karya insiatif Allah. Allah adalah kasih (1 Yoh. 4:6). Dengan motivasi kasih, Allah menciptakan manusia, dan dengan model atau gambar kasih pula manusia diciptakan oleh-Nya – Imago Dei (bdk. Kej. 1:27). Dengan demikian, kasih adalah hakekat dari seluruh keberadaan hidup manusia. Bagaimana kasih itu sunguh-sungguh hidup dan terpancar dari dalam keluarga – letak perutusan yaitu dalam kehidupan bersama antara suami, isteri, dan anak-anak sebagai bentuk tanggapan manusia terhadap panggilan Allah? Mari kita menengok dan belajar dari kisah dan model kehidupan yang dihayati oleh keluarga Jumbewor-Geniyanti.
Mengenal Kisah Keluarga Jumberwor-Geniyanti
Selayang Pandang
Hidup demi kepentingan orang banyak adalah nilai yang amat mulia. Hal itu nampak dalam kisah perjalanan hidup Keluarga Jumbewor-Geniyanti. Bapak Nicodemus Jumbewor adalah seorang suku Asmat kelahiran Ewer, 15 Agustus 1959. Ia menikah dengan Ibu Elisabeth Geniyanti, asal suku Jawa, kelahiran Sukoharjo, Solo 6 November 1963. Mereka dikaruniai oleh Tuhan tiga orang anak. Anak yang pertama bernama Rosa Maria Suwarni Yiw wiyouf lulusan Kedokteran di Manado-Sulawesi Utara. Sekarang ia melayani masyarakat dengan mengabdikan dirinya di RSUD Kota Agats. Moses Adventus Sugito adalah anak kedua. Ia berkarya sebagai TNI di Batalion 328 Kostrad Jakarta. Adiknya yang bungsu bernama Samuel Ambermbi Syamsudin adalah siswa Kelas X SMA di Agats, Kota Kabupaten Asmat.
Semangat pengabdian diri dan kesetiaan dalam karier merupakan karakter hidup dari Bapak Nicodemus Jumbewor. Beliau adalah seorang TNI. Demi menjaga dan mempertahankan keamanan dan persatuan NKRI, ia telah mengelilingi sebagian belahan tanah air Indonesia tercinta antara lain pulai Timor, NTT, Jawa dan Papua. Dalam menjalankan tugasnya, ia senantiasa menyandarkan diri pada Tuhan sebagai sumber kekuatannya. Iman praksis dan personal ini merupakan dasar bagi kehidupan keluarganya yang pada kenyataanya hidup berpindah tempat dari satu kota ke kota yang lain. Iman yang sama pula secara khusus menopang perjalanan hidup Bapak Nicodemus dalam perjalanan tugas kenegaraannya. Bapak Nicodemus sangat beryukur memiliki sosok isteri, Ibu Elisabet yang sangat memahaminya dan setia mendampingi serta merawat anak-anak di rumah. Meskipun telah pensiun dan tinggal bersama isteri dan dua orang anaknya di kota Agats, Bapak Nicodemus mengisi waktunya dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil di rumah sambil membantu sang isteri tercinta. Sementara sang isteri, Ibu Elisabet mengisi waktunya dengan melakukan pekerjaannya sebagai penjahit pakaian.
Mungkinkah? Kasih Terpancar dari Keluarga Berpindah-Pindah ini
Keluarga Jumbewor-Geniyanti merupakan keluarga yang sederhana dan menjadi salah satu model keluarga ideal di Kabupaten Asmat. Dilihat dari relasi antara suami-isteri serta relasi antara orang tua dan anak (Aspek Relasi), ada kasih yang hidup di dalam keluarga. Bapak Nicodemus melihat isterinya sebagai ibunya sendiri dan saudari perempuannya. Ia tidak merasa bahwa isterinya adalah orang lain namun menjadi bagian dari keluarganya sendiri. “Sejak saya menikah dengan isteri saya, saya anggap isteri saya adalah mama saya dan saudara saya sendiri, bukan orang lain”, kata Bapak Nicodemus. Demikian juga ibu Geniyanti sangat mengasihi suaminya. Ia selalu terbuka dalam membangun komunikasi yang baik dan mendalam dengan suaminya. Lewat komunikasi, ibu Geniyanti mengenal persis kekurangan dan kelebihan suaminya sehingga muda untuk memahaminya pula. Mereka mengakui bahwa di dalam keluarga pasti terdapat konflik, namun itu tidak bertahan lama karena suami dan isteri selalu menghadapinya dengan cara mengambil waktu untuk berjalan berdua sambil berceritera dari hati ke hati, serta saling mendengar, mengampuni dan menguatkan satu sama lain sehingga tetap menjadi pasangan yang setia. Sebagai orang tua, Bapa Nicodemus dan Ibu Geniyanti melihat anak-anaknya sebagai anugerah dari Tuhan dan karena itu mereka selalu menjawab kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya, misalnya setia menjalankan tugasnya demi menafkahi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan iman anak-anak.
Di dalam keluarga, pendidikan terhadap anak dirasa sangat penting karena menjadi tahap menuju pendidikan di sekolah (Aspek Pendidikan). Bapak Nicodemus dan Ibu Geniyanti menerapkan pendidikan informal terhadap anak-anaknya lewat melatih cara berdoa, mengajari anak-anak untuk menghargai sesamanya sebagai saudara, dan sopan santun dalam berelasi baik di rumah, sekolah maupun di lingkungan sekitar. Bapak Nicodemus dan Ibu Geniyanti selalu menyemangati anak-anaknya yang senang terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja seperti menjadi misdinar dan lektor di gereja, terlibat dalam kegiatan SEKAMI, OMK dan kegiatan kategorial lainnya. Kebiasaan yang sudah terpola sejak kecil membuat Rosa, anaknya yang sulung selalu terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja hingga saat ini. Pendidikan Formal di sekolah dan Pendidikan Nonformal pun dirasa sangatlah penting khususnya bagi orang-orang Asmat. Dalam beberapa kesempatan tampil di Gereja, Bapa Nocodemus yang pada masa itu menjabat sebagai Danramil selalau memberikan pemahaman kepada umat tentang pentingnya pendidikan terhadap anak. Salah satu bentuk perhatiannya pada masyarakat Asmat adalah dengan memberi pemahaman bahwa “uang dipakai sebaik-baiknya untuk membiayai pendidikan anak dan bukan dihabiskan hanya untuk makan-minum dan berpesta”. Demikian pula hasil-hasil alam seperti sagu dan ikan diolah dengan baik untuk membiayai pendidikan anak. Perhatian yang besar terhadap pendidikan nampak melalui hasil yang baik dari anak-anaknya. Selama di bangku pendidikan, Rosa dan Moses selalu meraih juara kelas di Timor, Kupang, Alor, maupun Jawa.
Menurut Bapak Nicodemus dan Ibu Geniyanti, sebuah rumah yang sehat (Aspek Kesehatan) harus memiliki ruang tamu, kamar tidur, dapur, WC dan kamar mandi. Bapak Nicodemus dan Ibu Geniyanti mengupayakan kiat-kiat untuk membangun anggota keluarga dan rumah yg sehat dengan cara menjaga kebersihan lingkungan rumah. Sebagai suami yang setia pada isteri, Bapak Nicodemus selalu membantu Ibu Geniyanti dalam mengerjakan tugas-tugas harian seperti rutin membersihkan sampah dan rumput di halaman rumah. “Banyak orang yang ketika lewat dan melihat saya sementara potong rumput di halaman rumah, mereka heran dan bertanya pada saya, kenapa bapa tidak bayar orang saja untuk kerja. Tetapi saya menjawab, untuk apa bayar orang, saya juga bisa koq”, demikian kata Bapak Nicodemus yang selalu siap sedia memberikan dirinya sepenuhnya demi cintanya kepada kesehatan hidup sang isteri dan anak-anak. Bapak Nocodemus memiliki kekhasan dalam mendidik anak-anaknya untuk membangun pola hidup dan lingkungan yang sehat yakni dengan memberi contoh dan teladan misalnya mengepel lantai rumah, menjaga pola kerja dan istirahat yang teratur, makan makanan yang sederhana namun sehat dan menghindari makanan jajan di luar rumah. Semua anggota keluarga hidup dalam kondisi sehat adanya baik bapak, ibu maupun anak-anak.
Dalam Pendidikan Iman (Iman), Bapa Nocodemus dan Ibu Geniyanti senantiasa mengandalkan Tuhan di dalam hidupnya. Mereka menyadari bahwa di hadapan Tuhan, mereka adalah orang-orang yang lemah dan berdosa sebagai manusia. Kesadaran ini mendorong mereka sebagai suami dan isteri untuk selalu ingat akan Tuhan dan senantiasa membangun kehidupan iman anak-anaknya sejak dini untuk selalu mengimani Yesus. “Kamu harus ikut Tuhan Yesus punya cara hidup”, demikian kata-kata Bapak Nocodemus kepada anak-anaknya. Sebagai orang tua, Bapak Nocodemus dan Ibu Geniyanti membangun kesadaran di dalam diri anak-anak untuk menyadari bahwa sesungguhnya mereka adalah anugerah dan pemberian dari Allah melalui orang tuanya. Anak-anak pun diajari dan dibiasakan untuk berdoa rosario keluarga, selalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja, dan selalu hadir dan berdoa di gereja pada setiap hari minggu. Kebiasan hidup rohani ini dibangun oleh keluarga terus-menerus bahkan ketika hidup berpindah-pindah tempat misalnya dari Timor, Kupang, Jawa, Makassar, Kalimantan, Papua dan kini menetap di Asmat.
Setiap keluarga membutuhkan sistem pengelolaan ekonomi rumah tangga yang baik (Aspek Ekonomi). Ibu Geniyanti adalah pengelola ekonomi rumah tangga. Ia memberi kesaksian bahwa semenjak awal menikah dengan Bapak Nocodemus, sang ibu selalu memegang dan mengelola keuangan. Gaji awal sang suami sekitar Rp. 86.000,- bahkan gaji sekarang beserta tunjuangan dan biaya dinas, semuanya diserahkan secara utuh oleh suami kepada isteri untuk mengurusi kebutuhan listrik, air, dan pendidikan anak-anak. “aku bukan maksa suamiku untuk ngasih uang tetapi suami memang sejak awal sudah mempercayaiku dan menyerahkan semuanya untuk saya kelola”, kata Ibu Geniyanti. Semua kebutuhan hidup rumah tangga dipenuhi dengan baik. Anak-anak tidak banyak menuntut jajan, kecuali uang rokok dan bensin diberikan oleh ibu kepada suaminya. Perna terjadi kesenjangan antara masa pensiun dan sebelum pensiun dimana uang menjadi terbatas, bahkan pernah tidak punya uang, beras pun dibeli enceran, menggunakan kayu bakar untuk memasak, dsb. Persoalan itu disikapi dengan dibukanya usaha menjahit pakaian sehingga dapat menunjang kehidupan.
Penutup
Dengan demikian, pemahaman yang baik bila didukung dengan kesadaran, kemauan serta komitmen di dalam diri, maka hidup manusia akan menjadi bahagia. Bapak Nicodemus dan Ibu Geniyanti merupakan pasangan suami isteri yang memiliki pemahaman yang baik tentang kehidupan secara khusus keluarga. Keluargnya masih tetap eksis dan menampilkan model hidup yang demikian baik dan ideal karena didukung oleh kesadaran akan keadaan hidup dan keinginannya untuk membangun keluarga yang baik dan sejahtera. Hal itu tidak mudah, namun berkat komitmen yang kuat, semunya pun berjalan dan hasilnya telah dialami sendiri saat ini.