Posted on: 04/10/2018 Posted by: admin Comments: 0
Keuskupan Agats

Sebuah refleksi kunjungan pastoral Uskup Agung ke Keuskupan Agats

  • Saya sungguh sangat bersyukur bahwa pada akhirnya, pada tanggal 12-17 September 2018 yang lalu saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Keuskupan Agats. Bukan sekedar berkunjung, tetapi juga ikut merayakan Pesta Syukur 60 tahun kehadiran Ordo Salib Suci (=OSC) di Keuskupan Agats. Selain mengunjungi dan merasakan atmosfer beberapa pusat pelayanan di pusat Keuskupan Agats, saya juga bersyukur bisa singgah di Paroki Sawa Erma dan ke Kampung Mumugu. Suatu kehormatan besar bahwa Bapak Uskup pribadi, Mgr. Aloysius Murwito dan beberapa Imam, Suster dan awam menemani kami – saya dan Bapak Uskup Anton Subianto – dalam kunjungan ke tempat-tempat itu. Bahkan Bapak Bupati dan Asistennya menemani kami ke Mumugu, bermalam di sana dan merasakan kegembiraan, syukur dan sekaligus juga keprihatinan-keprihatinan masyarakat di tempat itu.
  • Sudah lama saya mendengar mengenai Keuskupan Agats dengan masyarakat Asmat yang sangat terkenal dengan budayanya. Saya sudah sering membalik-balik buku tebal yang ditulis mengenai budaya Asmat. Semua menakjubkan. Satu kisah yang belum pernah saya dengar, ialah kemartiran Pastor Jan Smith OSC yang terjadi pada 28 Januari 1965. Saya takjub ketika mendengar kisah rakyat yang beredar di tengah masyarakat Asmat, bahwa peristiwa kemartiran Pastor Jan Smith disertai gejala alam dahsyat, yang menurut kisah rakyat itu menjadikan Asmat seperti sekarang ini: kota seribu papan, kota lumpur. Saya yakin, kemartiran inilah – dan kemartiran dalam bentuk lain yang dijalani oleh para perintis keuskupan Agats dan semua yang sampai sekarang terlibat dalam pelayanan Gereja dan masyarakat – menjadikan keuskupan Agats ladang yang subur untuk pewartaan kabar gembira keselamatan, dengan segala macam tantangannya. Sangat menarik yang dikatakan oleh Bupati Agats ketika Beliau memberikan sambutan dalam resepsi syukuran 60 tahun kehadiran OSC di Asmat. Sejauh saya tangkap beliau mengatakan hal ini: Gereja Katolik sudah memulai jauh sebelum kabupaten Agats terbentuk (lima belas tahun yang lalu). Maka silakan Gereja berada di depan, dan pemerintah kabupaten akan mengikutinya . Bagi saya ini adalah suatu pengakuan yang tulus dari seorang pimpinan pemerintahan atas peran Gereja Katolik di lingkungan masyarakat Asmat demi datangnya Kerajaan Allah – atau dalam bahasa sehari-hari – demi terjadinya transformasi sosial di lingkungan masyarakat Asmat.
    
  • Peranan seperti itulah yang antara lain saya lihat di tempat-tempat yang sempat saya kunjungi: di lembaga-lembaga pendidikan sekolah dan kesehatan, dalam kehadiran para pelayanan Gereja dan mitra-mitranya di paroki-paroki yang jauh, menjadi teman seperjalanan bagi masyarakat asli setempat, dalam pemberdayaan masyarakat dengan advokasi, pengembangan sosial ekonomi dan pemberdayaan lewat budaya dan langkah-langkah kreatif yang lain yang selalu muncul pada saat yang tepat. Inilah sebabnya, saya memberi judul – Kehadiran yang memerdekakan – untuk refleksi ini.
  • Ketika saya menuliskan catatan ini, saya ingat bagaimana Yesus menemani kedua murid yang sedang berjalan menuju Emaus. Dikatakan dalam Injil, – Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka. (Luk 24:15). Yesus datang untuk menjadi teman seperjalanan kedua murid itu. Ia mendengarkan kisah mereka – kekecewaan, keprihatinan, kecemasan yang membuat muka mereka muram – (ay 17) dengan sabar. Ketika mereka sudah merasa bahwa Yesus adalah teman perjalanan, bukan lagi orang asing, Yesus menggunakan semacam terapi kejut dengan mengatakan: Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu .(ay 25). Karena Yesus sudah dirasakan sebagai sahabat, terapi kejut itu membuka hati dan budi mereka, sehingga mereka siap menerima penjelasan selanjutnya (ay 26-28). Lebih daripada itu, hati mereka menjadi berkobar-kobar (ay 32) dan siap untuk menempuh jalan yang benar: bukan kembali ke Emaus melainkan melanjutkan perjalanan ke Yerusalem.
  • Saya hanya singgah di Keuskupan Agats selama kurang dari sepekan. Waktu yang singkat itu cukup bagi saya untuk belajar mengenai kemartiran yang sangat nyata yang menjadi jalan bagi para pelayanan Gereja dan mitra-mitra pelayanan di Keuskupan Agats untuk menanggapi panggilan Tuhan bertumbuh dalam kepenuhan hidup kristiani, dalam kesempurnaan kasih dan kesucian yang semakin sempurna (LG 11.40). Terima kasih untuk kesempatan yang sangat mengesankan ini. Semoga kerjasama antara Keuskupan Agats dan Keuskupan Agung Jakarta yang sudah berjalan sampai sekarang, dapat dikembangkan dengan prakarsa-prakarsa yang semakin kreatif.

Mgr. I. Suharyo
Uskup Agung Jakarta

Leave a Comment