Oleh : Tonny Sarkol
Dalam kehidupan negara modern, kehadiran suatu agama sejauh tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum tidak pernah boleh dilarang oleh negara. Sebaliknya agama memiliki suatu tanggung jawab untuk menyuarakan kebenaran apabila negara mengabaikan dan melupakan hak-hak asasi warganya. Karena itu, umat beragama di hadapan negara adalah sekaligus warga negara. Agama mempunyai hak bersuara sejauh menyangkut kepentingan banyak orang, demi keadilan sosial misalnya. Oleh karena itu, negara harus mampu menjadi pelindung bagi sebuah ideologi dan konsep hidup baik yang diajarkan oleh agama tertentu serentak harus bertindak tegas atas pelanggaran yang merugikan orang lain yang dilakukan oleh sekelmpok orang dari golongan agama tertentu.
Atas dasar itu, gereja memiliki tanggung jawab menyuarakan kebenaran dalam suatu negara di mana ia berada. Di sisi lain, gereja memiliki hak untuk dilindungi keberadaannya oleh negara. Karena itu, ada hubungan timbal balik antara gereja dan negara dalam membangun kehidupan bersama. Gereja dan negara dapat bertemu dan duduk bersama sejauh hal itu mampu mewujudkan terciptanya keadailan sosial dan perjuangan hak-hak setiap orang. Di sini baik gereja maupun negara berada dalam satu perjuangan yang sama untuk mencapai tujuan bersama pula. Dalam mencapai tujuan itu, politik memainkan peranan penting. Di sinilah anggota gereja dituntut untuk terlibat aktif dalam membangun kehidupan politik yang lebih manusiawi. Sebab pada prinsipnya politik bertujuan menyejahterakan warga negara. Sebab itu, politik memiliki nilai luhur dalam dirinya.
I. HAKIKAT POLITIK
Politik berasal dari bahasa Yunani: politikos yaitu segala sesuatu yang menyangkut warga negara. Seorang warga Negara disebut polites, kewargaan disebut politea, dan polis berarti kota, negara. Berdasarkan term-term ini, maka politik merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan dalam hal mengelola, mengarahkan dan menyelenggarakan serta menentukan keputusan-keputusan dalam kehidupan bernegara. Dalamnya termuat hal-hal yang menyangkut partai-partai, masalah-masalah sipil, relasi antarbangsa, dan kesejahteraan sosial.
Aristoteles berujar: politik lahir dari kodrat manusia sebagai ens sociale. Bagi Aristoteles, tujuan politik paralel dengan tujuan etika dan tujuan dari kehidupan manusia itu sendiri yakni untuk mencapai eudaimonia, kesejahteraan bagi manusia itu sendiri. Sejalan dengan itu, Peter L. Berger, sosiolog Amerika yang terkenal itu, menunjukkan bahwa politik sebagai sebuah gejala sosial perlu diberi pendasaran etis. Etika politik penting karena berkaitan dengan pergumulan manusia dalam relasi dengan yang lain. Dalam sejarah kehidupan manusia, penderitaan yang dialami oleh sekelompok orang tidak pernah lepas dari kebijakan politik tertentu. “Sejarah umat manusia adalah sejarah penderitaan.” Selanjutnya ia menulis:
Diandaikan bahwa kebijaksanaan politik seharusnya berusaha menjauhi tindakantindakan yang menimbulkan penderitaan. Selanjutnya diandaikan bahwa dalam kasuskasus di mana kebijaksanaan politik melibatkan penderitaan, baik yang ditimbulkan secara aktif maupun yang diterima secara pasif, maka kenyataan ini memerlukan suatu pembenaran, suatu keharusan yang lebih bersifat moral daripada teknis (Peter L.
Berger, Pyramids of Sacrifice. Political Etics and Social Change, edisi ke-2 (New York: Anchon Press, 1976), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Rahman Tolleng, Piramida Kebutuhan Manusia. Etika Politik dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1982), p. 138).
Di sini Berger mengedepankan kebijakan politik agar tidak menjadikan orang lain menanggung penderitaan akibat kebijakan itu. Dengan kata lain, politik mesti menghindari upaya menyengsarakan orang lain. Dengan demikian, tujuan politik untuk mencapai eudaimonia itu dapat terwujud.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa, berbicara tentang politik berarti berbicara tentang kekuasaan, masyarakat/warga negara dan kesejahteraan umum. Kekuasaan berhubungan dengan pemerintah. Pemerintah mengandaikan adanya warga negara. Relasi antara pemerintah dan warga negara bersentuhan langsung dengan kesejahteraan umum dan kebaikan bersama. Karena itu, pada prinsipnya politik bertujuan menyejahterakan masyarakat yang berdiam dalam satu negara. Untuk sampai pada kesejahteraan bersama dibutuhkan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pengambilan kebijakan politik yang lebih manusiawi.
II. GEREJA DAN NEGARA
Kewenangan Negara
Gereja mengakui kewenangan Negara untuk mengatur dan memperjuangkan kesejahteraan sosial. Dalam Pacem in Terris, Yohanes XXIII memandang kekuasaan itu sebagai perpanjangan tangan Allah sendiri. “Para pejabat menerima kewenangan mereka dari Allah”. Gereja melihat arti positif dari kekuasaan negara itu. Sebab pada dasarnya, Allah sendirilah yang menghendaki agar para pemimpin menjamin kesejahteraan sosial sebagai bagian dari tugas yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Meski demikian, mesti diakui pula bahwa wewenang itu cenderung disalahgunakan, maka perlu dicurigai dan diawasi. Sebab itu, “jangan dibayangkan, seolah-olah kewenangan itu tidak mengenal batas. Karena titik tolaknya ialah izin untuk memerintahkan menurut akal sehat, tidak dapat lain kecuali disimpulkan, bahwa kekuatannya mengikat bersumber pada tata susila, yang asal maupun tujuannya Allah sendiri”. Jadi, gereja sendiri mengakui kewengan Negara, tetapi sejauh hal itu memperjuangkan kebaikan bersama dengan berpedoman pada nilai kemanusiaan dan bersumber pada kehendak Allah.
Kerja sama Gereja dengan Negara
Dengan mengakui kewenangan negara oleh gereja, kerja sama negara dan gereja bukanlah hal yang muskil. Kerja sama tersebut menyangkut pembangunan kehidupan sosial dan terutama agar negara seharusnya menempatkan manusia dan martabat pribadi sebagai prioritas. Jika dalam kenyataannya negara cenderung lupa dengan prinsip ini, maka gereja memiliki kewajiban untuk menyadarkanya. Karena itu, instrumen yang dipakai dalam penyadaran itu adalah dialog yang memungkinkan terciptanya suatu saling pemahaman dan pengakuan yang luhur akan kehadiran Negara dan tugas-tugasnya..
Kerja sama gereja dengan negara terutama ditekankan pada bidang-bidang seperti perlindungan hak-hak individual, pembinaan manusia yang semakin berbudaya, cinta damai, kerja sama untuk memperbaiki kondisi sosial, akses terhadap kehidupan bersama yang lebih memadai, sambil tetap memperhatikan batas-batas wewenang masing-masing. Hal-hal ini mestinya menjadi perhatian yang serius baik oleh gereja maupun oleh negara.
III. POLITIK MENURUT AJARAN SOSIAL GEREJA
Sepanjang kiprahnya di dunia ini, gereja senantiasa berhadapan dengan suatu situasi politik tertentu dan selalu berkanjang di bawah pemerintahan bangsa-bangsa. Gereja yang berkanjang dalam dunia menuntut keterlibatannya berhadapan dengan masalah-masalah politik dan perlunya membangun suatu kerjasama yang baik dengan pemerintah.
Oleh karena itu, gereja memiliki tanggung jawab sosial politis. Tanggung jawab itu tidak lain yaitu memperjuangkan keadilan dan martabat manusia. Dalam hal ini, seruan profetis gereja terarah pada upaya menyadarkan pemerintah dan para politisi untuk menampakkan wajah kemanusiaan dan pengharaggaan atas pribadi manusia di atas segala kepentingan lain. Penyadaran ini merupakan suatu upaya mengembalikan citra politik yang sesunggunya yaitu demi kesejahteraan seluruh umat manusia. Hal ini penting mengingat kita yang doyan lupa pada hakikat politik itu sendiri. Itu berarti, seruan dan tindakan nyata gereja berkisar pada upaya menyembuhkan manusia dari amnesia semacam itu.
Gereja yang tengah berziarah di dunia tidak akan pernah lepas dari tatanan kehidupan sosial politik masyarakat mondial. Dalamnya gereja berjumpa dengan realitas sosial dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Itu berarti gereja dengan teologinya tentang politik akan berjumpa dengan politik dari perspektif masyarakat modern yang mendasarkan diri pada kemampuan akal budi manusia. Meskipun dengan pendasaran yang agak berseberangan, baik teologi gerejani maupun akal budi manusia sama-sama memperjuangkan penghormatan atas pribadi manusia di atas kepentingan politik lainnya.Karena itu dialog gereja dengan pemerintah mesti mendasarkan diri pada landasan yang sama yakni martabat manusia.
Tujuan Politik
Gereja merefleksikan bahwa politik mesti berbasiskan pribadi manusia dan bertujuan membahagiakan manusia itu sendiri. Pribadi manusia merupakan dasar dan tujuan tatanan dan kehidupan politik. Dengan itu, politik sedapat mungkin menghindari segala pentuk pelecehan, manipulasi, dan pemerasan terhadap manusia itu sendiri. Martabat manusia mesti menjadi prioritas utama dalam setiap aktivittas dan kebijakan politik yang diambil.
Selain itu, politik harus membela hak-hak asasi manusia. Karenanya, setiap agenda dan tata kelola kehidupan politik tidak pernah boleh melupakan hak-hak dasar setiap orang. Politik harus mengangkat harkat dan martabat manusia dan membantu manusia itu sendiri untuk hidup dalam kehidupan yang damai. “Paguyuban Politik memperjuangkan perwujudan kesejahteraan umum dengan cara menciptakan sebuah ranah sosial yang manusiawi, di dalamnya para warga mendapatkan kemungkinan menikmati hak-hak asasinya secara sungguh-sungguh serta memenuhi kewajibannya secara penuh dan menyeluruh.
Mengingat politik selalu terjadi dalam konteks sosial masyarakat tertentu dengan latar waktu dan tempat tertentu, politik hendaknya membawa semua orang untuk semakin memajukan persahabatan antarpribadi dan kehidupan bersama yang lebih harmonis. Sebab,
“kehidupan bersama hanya mencapai kepenuhan artinya jika didasarkan pada persahabatan dan persaudaraan. Dalam persahabatan dan persaudaraan, kita menemukan cinta kasih yang sesungguhnya. Di sana, setiap orang menjadi bagian dalam satu keluarga besar yang saling memahami dan saling memperjuangkan kebaikan dalam kehidupan bersama. Dengan itu, hukum cinta kasih dalam Alkitab menjelaskan kepada umat Kristen tentang makna terdalam dari sebuah kehidupan politik.
Dengan demikian, martabat manusia, hak-hak asasi manusia, dan persahabatan serta persaudaraan hendaknya menjadi tujuan yang harus dicapai oleh politk itu sendiri. Politik yang lahir dari kodrat manusia yang besifat sosial hendaknya juga terarah pada terciptanya kehidupan sosial yang lebih baik dan lebih maju.