Posted on: 17/01/2023 Posted by: RD Lorenz Kupea Comments: 0

SERIAL MENGENAL HUKUM GEREJA

Oleh: RD. Martin Selitubun

Sebelum adanya hukum atau aturan apapun di tengah masyakakat, kehidupan bersama masih diatur oleh adat atau kebiasaan. Setelah munculnya agama, adat atau kebiasaan ini seringkali memiliki karakter khusus dan dan sanksi agama diberikan kepada mereka yang melanggarnya. Adat atau kebiasan sendiri merupakan norma hukum yang tidak tertulis, karena adanya fakta bahwa kelompok atau komunitas tersebut mengulangi suatu perilaku dari waktu ke waktu. Berulangnya perilaku ini akan menjadi norma yang dipraktekan dalam masyarakat.

Dalam Hukum Gereja, suatu kebiasaan dapat diakui sebagai sumber hukum obyektif, karena dipercaya bahwa Roh Kudus ikut membantu setiap pribadi dan menuntun umat beriman dalam hidup mereka. Pengalaman rohani ini memberi sensus fidei fidelium (atau yang dikenal dengan sense of faith- rasa keberimanan). Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa adat atau kebiasaan memiliki landasan eklesiologis. Sebagai contoh, seorang siswa SD kelas 1 merasa perlu membuat tanda salib setiap pagi saat masuk kelas. Jika perilaku ini berlangsung terus menerus, maka akan melahirkan rasa hukum. Sehingga ketika legislator atau pembuat undang-undangn mengakui kebiasaan ini, maka mereka tidak melakukan apa-apa selain mengakui secara legal suatu kebiasaan yang sudah ada.

Agar suatu kebiasaan dapat dikukuhkan menjadi hukum, maka harus disetujui oleh Paus sebagai legislator. Terdapat dua tipe kebiasaan yang berhubungan dengan persetujuan ini:

  1. Persetujuan dalam bentuk khusus: yang mana pembuat undang-undang (legislator) mengakui kebiasaan yang telah dihidupkan di tengah masyarakat dan memberlakukannya sebagai undang-undang. Pengakuan ini biasanya tidak menimbulkan masalah.
  2. Persetujuan dalam bentuk umum: Pembuat undang-undang memberikan kriteria-kriteria tertentu, dan jika kebiasaan dapat menyesuaikannya (dapat merespons kriteria ini), maka kebiasaan itu secara otomatis disetujui. Persetujuan ini biasanya menghadirkan lebih banyak masalah. 

Persyaratan abstrak yang harus dipenuhi oleh adat atau kebiasaan

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar adat atau kebiasaan ini dapat diterima sebagai undang-undang gerejani, sebagaimana tertuang dibawah ini:

  1. Harus sesuai dengan hukum ilahi (kan. 24§1): Kan. 24 – § 1. Tiada kebiasaan dapat memperoleh kekuatan undang-undang, kalau bertentangan dengan hukum ilahi.
  2. Harus bersifat Rasional (Kan 24) : § 2. Tidak juga dapat memperoleh kekuatan undang-undang suatu kebiasaan, yang melawan atau yang di luar hukum kanonik, kecuali yang masuk akal; tetapi suatu kebiasaan yang dengan jelas ditolak dalam hukum, tidaklah masuk akal.
  3. Sesuai dengan moralitas
  4. Menurut kebaikan bersama
  5. Kebiasaan harus menjadi perilaku yang diikuti masyarakat untuk jangka waktu yang lama, sekitar 30 tahun (Kan. 26)
  6. *Kebiasan dalam arti hukum, tercipta ketika orang beriman berperilaku dengan cara, niat, kehendak, dan kesadaran untuk menciptakan hukum baru.
  7. *Kebiasaan tercipta ketika dihormati oleh komunitas yang mampu menerima hukum. Kebiasaan ini harus dihormati oleh mayoritas masyarakat.

Tipe-tipe adat atau kebiasaan

  1. Kebiasaan Secundum Legem: Kebiasaan menegaskan hal yang sama yang telah dikatakan oleh undang-undang. Kebiasaan ini memiliki fungsi menafsirkan undang-undang, ketika suatu undang-undang tidak terlalu jelas dipahami. Dalam KHK norma Kan. 27, ditegaskan bahwa kebiasaan adalah penafsir yang paling baik dari undang-undang.
  2. Kebiasaan Praeter Legem: Ketika suatu adat atau kebiasaan dihidupkan di wilayah di mana tidak ada hukum, maka kebiasaan itu mengisi celah kekosongan legislatif. Artinya ada norma baru yang muncul. Dalam Kan. 19 dikatakan bahwa, Jika mengenai hal tertentu tidak ada ketentuan jelas dari undang-undang, baik universal maupun partikular, atau tidak ada juga kebiasaan, maka hal itu, kecuali mengenai hukuman, harus diselesaikan dengan memperhatikan undang-undang yang diberikan dalam kasus-kasus yang mirip, prinsip-prinsip yuridis umum yang diterapkan dengan kewajaran kanonik, yurisprudensi dan praksis Kuria Roma, dan pendapat yang umum dan tetap dari para ahli.
  3. Kebiasan Contra Legem. Tipe ini justru memperkenalkan sebuah norma baru yang bertolak belakang dengan hukum, yang mana norma ini, dapat bersifat abrogasi atau derogasi.
  4. Abrograsi berarti pencabutan total, langsung dan tegas atas suatu undang-undang oleh atasan yang berwenang. (Kan. 6, 20, 1739).
  5. Derogasi berarti penggantian suatu aturan dengan aturan lain yang bertentangan dengan yang lama. (Kan. 3).

Apa syarat-syarat agar adat atau kebiasaan memiliki kekuatan hukum?

Agar suatu adat kebiasaan memperoleh kekuatan hukum, hendaknya dipenuhi semua syarat yang ditetapkan dalam norma Kan. 22-26, yakni:

  1. Harus disetujui oleh legislator atau pembuat undang-undang.

Untuk kebiasaan atau adat yang bersifat universal, maka hal itu harus disetujui oleh Tahta Apostolik. Adapun yang berhubungan dengan adat atau kebiasaan partikular, harus mendapat aprobasi atau persetujuan dari Uskup. Dalam KHK Kan. 23, dikatakan bahwa Hanyalah kebiasaan yang dimasukkan oleh suatu kelompok orang beriman mempunyai kekuatan undang-undang, kalau telah disetujui oleh pembuat undang-undang, menurut norma kanon-kanon berikut.

  • Ada kesesuaian mutlak dengan hukum ilahi.

Tidak diperkenankan suatu kebiasaan membatalkan atau menghapus undang-undang hukum Ilahi, natural, dan positif. Jika kontras atau bertentangan maka dihindari. Dalam KHK Kan. 24 § 1. Tiada kebiasaan dapat memperoleh kekuatan undang-undang, kalau bertentangan dengan hukum ilahi.

3).        Bersifat Rasional

Suatu kebiasaan harus bersifat rasional, jujur, adil, mungkin dan berguna sebagaimana undang-undang. Kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan visiGereja, atau prinsip fundamental hukum gereja. Dalam KHK. Kan. 24, dikatakan bahwa § 2. Tidak juga dapat memperoleh kekuatan undang-undang suatu kebiasaan, yang melawan atau yang di luar hukum kanonik, kecuali yang masuk akal; tetapi suatu kebiasaan yang dengan jelas ditolak dalam hukum, tidaklah masuk akal.

4).        Kapasitas dan Intensi Subyek.

Kebiasaan itu ditujukan pada komunitas yang mampu menjadi tujuan dan subyek pasif sebuah undang-undang. Misalnya ditujukan kepadan Gereja Universal, Keuskupan, sebuah Institut klerikal, klerus, laikal, atau rumah religius tertentu. Dalam Kan. 25, diakatan bahwa tak satu kebiasaan pun memperoleh kekuatan undang-undang, kecuali dilaksanakan oleh suatu kelompok, yang sekurang-kurangnya mampu untuk menerima undang-undang, dengan maksud untuk memasukkannya sebagai hukum.

5).        Waktu tertentu

  1. Jika tentang kebiasaan contra/praeter legem, telah dihidupkan selama 30 tahun dan bersifat penuh dan kontinyu.
  2. Diperlukan kebiasaan yang berlangsung seratus tahun atau lebih, jika suatu kebiasaan yang dilarang. Kebiasaan yang dilarang ini terus dihidupkan tetapi tidak pernah ditegur oleh otoritas yang berwewenang.
  3. Jika kebiasaan yang secara tegas ditolak, dan tidak ada waktu yang memenuhi standar a-b, maka tidak dapat dilaksanakan.

Kebiasaan yang ditolak dalam Hukum

  1. Kan. 526.2
  2. Kan. 423.1
  3. Kan. 396.2
  4. Kan. 1076
  5. Kan. 1287.1
  6. Kan. 1425.1

Leave a Comment