
Pastor Vincent Cole, MM adalah misionaris asing terakhir yang berkarya di Tanah Asmat, Papua. Beliau telah berkarya selama 43 tahun di Asmat dan kini memasuki masa pensiun dan akan kembali ke tanah airnya. Sang Misionaris telah mendedikasikan diri dan karyanya untuk masyarakat Asmat dan meninggalkan jejak yang tak mudah untuk dihapuskan. Mari kita simak wawancara dengan sang misionaris terakhir ini di Asmat ini.
Bagaimana pengalaman awal berkarya di Asmat?

Sebelumnya saya bekerja di Jakarta sekitar 5 tahun. Situasi sangat berbeda, oleh karena itu saya perlu beberapa penyesuaian. Khususnya budaya dan medan, karya dan penekanan pastoral juga berbeda. Agar pelayanan tepat, maka saya memulai dengan budaya dan situasi, menyesuaikan diri, ikut ke hutan, mengumpulkan ceritera rakyat, pesta adat, mengikuti umat membuat perahu dan akhirnya membuat perahu sendiri, mendayung, dll. Hal seperti itu dibuat supaya saya akrab dengan situasi setempat.

Apa saja aktivitas Pater
Sebagai pastor paroki, dengan fokus pada pemberdayaan dewan paroki, OMK dan kelompok usaha. Kemudian kami di paroki juga membentuk komisi liturgi, komisi budaya, komisi kateketik, OMk. Semua ini dibuat agar pelayanan menjadi tepat sasaran. Termasuk juga pelayanan untuk stasi Mumugu dimana ada umat yang terkena kusta dan sekolah rimba yang mulai dibuka di sana. Selain tugas-tugas di atas, saya juga sebagai Vikaris Jenderal (Vikjen) membantu Bapak Uskup untuk pelayanan di keuskupan ini.
Bagaimana pendapat Pater tentang seni mengukir?
Saya senang karya tangan juga kagum dengan kemampuan mereka untuk mengukir. Memang untuk mengukir secara teknis saya bisa, tetapi yang membuat saya kagum adalah imajinasi mereka yang sangat luar biasa yang tidak bisa saya tiru. Karena menurut saya ukiran adalah ekspresi dari sesuatu yang inti dari hidup mereka. Motif-motif yang dilahirkan dari ukiran sangat bermakna karena lahir dari upacara-upacara penting dalam budaya Asmat. Motif juga melambangkan keterikatan orang Asmat sendiri dengan dunia roh yang mereka percayai. Oleh karena itu jika ingin berkarya di sini kita harus memahami. Dapat dikatakan motivasi saya berangkat dari rasa kagum akan gaya ekspresi orang Asmat. Apalagi jika dikaitkan dengan agama asli, mitos, dan eksistensi diri mereka sebenarnya.

Bagaimana Pater menyiapkan waktu untuk mengukir?
Biasanya saya mengukir dalam waktu yang lama tergantung jenis ukiranya dan waktu yang tersedia. Jika mereka mengukir, yang dibutuhkan hanya konsep dan kemudian dituangkan secara langsung di atas materi karena mereka mengerti benar posisi dan urat-urat kayu. Memang saya belum menyatu dengan bahan-bahan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dibanding mereka. Saya belajar mengukir dari 3 pengukir profesional yakni Owak, Jiwirjak dan Tomber sekitar tahun 1990an.
Bagaimana hubungan Budaya dan iman?
Menurut saya iman dan budaya tidak bisa dipisahkan. Banyak tantangan dari perubahan zaman. Ajakan dari luar selalu muncur entah sadar atau tidak. Pengaruh zaman ini juga ada yang bertentangan dengan budaya. Diharapkan dengan iman yang kuat dan nilai-nilai positif dari budaya, orang Asmat bisa memilih yang terbaik untuk mereka. Mereka memang sedang berada dalam proses. Cara pandang juga berbeda /tidak sama baik laki, perempuan, yang bersekola dan tidak. Hal unik saya temukan dalam buku Asmat Sketch Book, mengatakan bahwa pada masa-masa awal mereka khawatir iman orang Asmat tidak kuat dan hal ini berpotensi mereka kehilangan jati diri. Rupanya kekhawatiran ini bukan hal baru. Tetapi di sisi lain budaya Asmat lumayan kuat dipegang. Budaya masih punya warna dan dampak di tengah masyarakat sekalipun krisis karena pengaruh modern yang masuk. Perubahan adalah tanda hidup. Budaya pun sama. Gereja membantu umat agar memahami perubahan itu dan mengambil sesuatu yang terbaik darinya.

Adakah tantangan pribadi?
Sejauh ini belum ada, karena saya memandang semua hal yang ada di Asmat sangat unik. Sebagai orang Amerika saya belum pernah mengalami perjumpaan dengan Roh. Dengan orang mati adalah hal yang sangat umum bagi orang Asmat. Pesta dibuat atas perintah roh. Hal ini sangat menarik dan unik bagi saya.

Bagaimana inkulturasi dijalankan Pater?
Dapat dikatakan hal ini lahir dari sebuah proses yang sangat panjang. Menurut saya kita tidak bisa memisahkan Gereja dan Budaya karena tidak ada pemisahan seperti ini. Banyak nilai yang sama dan saling memperkuat serta memperkaya.
Masa-masa awal ketika saya datang saya bergaul dengan tua-tua adat dan kami merancang bersama-sama untuk memasukan unsur-unsur budaya. Tujuannya agar saya ingin mengembangkan cara beribadat yang bermakna untuk mereka. Awalnya kami berdiskusi panjang tentang masuknya tungku api di dalam Gereja. Mereka takut karena sepertinya budaya terganggu. Mereka juga tidak ingin nilai-nilai dalam Gereja terganggu. “Siapa yang akan tanggung resiko jika ada korban?”, begitu pendapat salah satu tua adat waktu itu. Pada waktu itu rasa khawatir juga muncul. Pada akhirnya tungku api dimasukan dalam Gereja. Perkembangan lain adalah diberikan peran bagi tua-tua adat dalam ibadat, bahasa, malah pemimpin asli mendapat peran dan tempat di dalam gereja. Kemudian dibangunlah Gereja baru khas Asmat yang tidak meninggalkan upaya-upaya inkulturatif hasil diskusi kami sekian lama. Dapat dikatakan Gereja saat ini adalah ekspresi dari pergumulan bersama dengan orang tua-tua, masa kini dan masa yang akan datang.
Pola dasar Gereja ini adalah Je (Rumah Bujang) tempat berkumpulnya para lelaki untuk berbicara tentang kehidupan mereka. Simbol-simbol yang digunakan pun sangat dipahami oleh orang Asmat. Menjadi aneh jika orang Asmat mengikuti budaya/ritus lain, maka akan terkesan pincang karena ini bukan sesuatu yang mereka miliki.
Starting point-nya sejak saya datang, saya mulai dengan pendekatan atas budaya. Semua ini adalah hasil proses penyesuaian diri, saya mulai pahami dan menemukan cara yang tepat untuk mereka sebagai pengikut Kristus.

Adakah tantangan dalam pastoral kontestual (inkulturasi)?
Dulu para misionari si keuskupan ini sangat mendukung inkulturasi. Uskup lama Mgr. Alfons Sowada OSC juga sangat peduli dengan inkulturasi dengan menyumbang ide dan terlibat penuh dalam dunia inkulturasi ini. Pada masa-masa ini kami semua sangat ditantang dalam arti yang positif. Misalnya jika ada perayaan atau ritus khusus dibuat di kampung lain, kami tertantang untuk melakukannya di kampung kami. Tantangan terberat sebenarnya berasal dari pendatang, guru, camat, dll. Misalnya mereka keberatan soal bahasa yang digunakan dalam ibadat, yakni bahasa Asmat. Menurut mereka hal ini menjadi sulit karena masyarakat akan sulit berbahasa Indonesia. Saya katakan ini bukan soal berbahasa Indonesia yang baik dan benar, ini soal bagaimana orang setempat menjalin relasi dengan Tuhan yang juga mengerti bahasa mereka. Kemudian muncul protes ketika ada tarian-tarian khas Asmat dalam gereja yang dinilai terlalu profan. Sebenarnya, sangat disayangkan orang acuh dengan budaya Asmat. Sayangnya banyak imam yang kurang berminat pada inkulturasi, demi pengembangan iman umat secara tepat. Orang kurang minat mungkin disebabkan karena hal ini membutuhkan proses yang sangat lama. Untuk itu harus ada relasi dan rasa saling percaya. Karena dalam budaya ada sejumlah rahasia yang tersembunyi yang harus didekati dan ditekuni. Dibutuhka 5-10 TAHUN seseorang menetap di suatu tempat karya agar ia bisa mengembangkan inkulturasi dalam Gereja.

Sekilas Gereja Sawa
Dapat dikatakan ini adalah salah satu gereja terbaik di Asmat bahkan Papua karena lahir dari refleksi mendalam selama 30 tahun. Pendekatannya melalui pintu budaya Asmat yang sangat kaya dan ekspresif. Semua hal ini bermuara pada lahirnya sebuah Gereja khas Asmat. Ornament-ornamentnya sangat mencirikan kekayaan khas Asmat seperti hutan, sagu, burung, udang, dll. Semua hal dikaitkan dengan hubungan antara manusia Asmat dengan yang transenden, yakni leluhur-leluhur mereka. Di dalam gereja terdapat tiang-tiang berukir yang mengisahkan hubungan antara semesta dan manusia. Di setiap sisi Gereja juga ada tungku-tungku api yang menjadi simbol kerukunan antar keluarga dalam sebuah rumah bujang di Asmat. (RD. Martin Selitubun)
CV
- Nama :Pst. Vincent Cole, MM
- TTL :Detroit-Michigan,
- Tahbis : 21 Mei 1971
- Berkarya : Berkarya di Jakarta 5 tahun ( Paroki Pasar Minggu dan Cilincing), kemudian pada bulan oktober 1979 pindah ke Asmat.
- Pendidikan : McGill University, Montreal Canada.