Posted on: 03/07/2020 Posted by: admin Comments: 0

Hans Kelen, staf YASA Keuskupan Agats


Pupis, sebuah kampung kecil di pedalaman Papua. Untuk mencapai kampung ini membutuhkan waktu 3-4 jam dengan kendaraan longboat 40pk dari Agats pusat ibu kota kab. Asmat. Pupis memang masih jauh dari aroma kota dan detak pembangunan. Dunia pendidikan yg kian terlantar dan pelayanan kesehatan pun masih teramat jauh dari sentuhan keprihatinan.
Anak-anak Pupis hidup menyatu dengan alamnya.
Alam telah mengajarkan mereka untuk arif dan bijak, walau kini mulai terkikis zaman.
Perjalananku ke Pupis kali ini telah menyisakan sebuah kisah yg patut kukenang.
Sore itu, setelah tiba di penginapan dan membereskan tempat tinggal kami untuk beberapa hari di sana, tiba-tiba seorang anak usia kira-kira 9/10 tahun datang menemui kami, namanya Philipus. Dia membawah sebuah piring plastik sedikit kumal berisi beberpa ekor ikan dan udang hasil tangkapannya untuk kami. Rupanya mereka juga baru pulang mencari makan dari hutan karena badannya masih basah.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih kami, seorang teman kami (Rosa) mengambil beberapa bungkus susu Dancow dan memberikan kepadanya dan segera ia pun kembali ke rumahnya.
Namun selang beberapa saat Philipus kembali lagi ke penginapan kami sambil menyerahkan kembali susu yang diberikan Rosa kepadanya.
Kami bingung kenapa ia mengembalikan barang itu. Ternyata Philipus mengatakan bahwa ia tidak membutuhkannya (susu). Lalu Rosa menawarkan biskuit dan nasi (bekal kami siang itu) kepadanya. Philipus hanya memilih nasi untuk dibawah pulang ke rumah untuk makan bersama adik dan kakaknya.

Philipus, figur seorang bocah, lahir dan hidup di tengah alamnya yang masih asli. Hutan dan sungai telah mengajarnya tentang arti dan nilai dari sebuah KEARIFAN, bahwa ‘mengambil’ sesuai dengan apa yang ia butuhkan dan tidak menerima apa yang tidak ia perlukan.

Salut buatmu sahabat kecil-ku
Sampai kita bertemu lagi di kampungmu.
doormoom…..

Leave a Comment