Posted on: 19/04/2025 Posted by: Petrus Letsoin Comments: 0

KOMSOS- Kami datang sebagai rombongan Uskup, niat awalnya sederhana: mengikuti Liturgi Jumat Agung bersama umat, berdoa dalam keheningan, menyatu dalam permenungan sengsara Kristus. Tak ada yang menyangka bahwa rencana Tuhan jauh lebih besar dari sekadar duduk di bangku umat.

Beberapa menit sebelum misa dimulai, seorang dewan gereja datang tergesa-gesa. “Semua petugas liturgi sedang sakit dan dirawat di Senggo,” katanya dengan suara setengah berbisik, setengah panik. “Boleh minta tolong bantu bacaan?”

Tanpa banyak pertimbangan, kami saling pandang dan mengangguk. Ada kegugupan, tentu saja—apalagi semua terjadi tanpa persiapan. Tapi siapa yang bisa menolak jika pelayanan datang sebagai panggilan mendadak?

Sebelum membaca Kisah Sengsara, kami naik ke altar dan mendekati Uskup. Dalam hening yang penuh khidmat, kami berlutut di hadapannya dan memohon berkat. Tangannya terangkat memberkati kami—sebuah momen sunyi namun penuh daya. Rasanya seperti disalurkan kembali, bukan hanya tugas, tapi semangat pelayanan yang selama ini tertahan.

Aku pun berdiri di mimbar—untuk pertama kalinya sejak 2022. Ada gemetar yang tak bisa ditutupi, tapi juga rasa haru yang menenangkan. Bersama Remon, kami membacakan Kisah Sengsara. Aku sebagai narator, Remon mengisi bagian Yesus. Dalam keheningan umat, setiap kata Injil terasa hidup, mengalir bukan hanya dari bibir kami, tapi dari hati yang sedang dibentuk kembali oleh kasih Tuhan.

Suster Aurelia membacakan bacaan kedua. Suaranya lembut, penuh empati, seolah membawa umat merasakan luka yang Kristus pikul. Sementara Anas, yang biasanya jarang terlihat di depan, maju dengan tenang menyampaikan bacaan pertama. Tak satu pun dari kami tampak siap—tapi justru di situlah indahnya.

Mimbar yang Membuka Luka dan Luka yang Menyembuhkan

Ada sesuatu yang mendalam ketika berdiri kembali di mimbar setelah sekian lama. Sejak terakhir kali pada tahun 2022, aku sempat merasa pelayananku mengendap, tak bergerak. Tapi hari itu, Tuhan menunjukkan bahwa pelayanan tak pernah benar-benar hilang—ia hanya menunggu momen untuk dihidupkan kembali.

Jumat Agung ini menjadi pengingat bahwa kasih Allah sering datang melalui kekurangan manusia: lewat absennya para petugas, lewat kegugupan kami yang mendadak, lewat mimbar yang tanpa rencana jadi ruang kesaksian. Dan mungkin memang di situ letak kekuatan-Nya: dalam ketidaksiapan kami, Dia yang memampukan.

Dan pada hari itu, kami belajar bahwa menjadi siap bukan berarti sudah sempurna, tapi mau melangkah ketika dibutuhkan.

Jumat Agung tahun ini tak hanya mengingatkan kami pada sengsara dan salib, tapi juga pada kebesaran Tuhan yang bekerja dalam hal-hal sederhana. Dalam suara yang dibacakan seadanya. Dalam mimbar yang menjadi ruang pertobatan. Dan dalam hati yang akhirnya berkata, “Tuhan, inilah aku. Pakailah aku.”

Leave a Comment