KOMSOS — Perjumpaan akbar kaum muda Katolik se-Tanah Papua dalam rangkaian Papua Youth Day (PYD) II resmi diawali dengan kegiatan yang sarat makna: Live In, sebuah momen di mana para peserta tinggal langsung bersama keluarga-keluarga di Nabire. Tradisi Live In ini bukan sekadar seremoni pembuka, tetapi menjadi jantung dari semangat kebersamaan, persaudaraan, dan pengalaman hidup nyata di tengah umat.
Melebur di Tengah Umat, Belajar dari Kehidupan Nyata
Setibanya di Nabire, para peserta PYD II dibagi ke tiga paroki besar yang menjadi tuan rumah, yakni:
Paroki Kristus Raja Nabire
Paroki St. Yosep Nabire Barat
Paroki Kristus Sahabat Kita
Di sinilah pengalaman luar biasa itu dimulai. Para peserta tinggal bersama keluarga-keluarga umat paroki, berbagi atap, makanan, cerita, bahkan suka duka kehidupan sehari-hari. Mereka mengikuti rutinitas keluarga angkat masing-masing mulai dari bangun pagi, beribadah bersama, bekerja di kebun atau pasar, hingga belajar tentang adat istiadat dan budaya setempat.
Live In ini bukan sekadar program, melainkan sarana konkret untuk memahami dan merasakan denyut nadi kehidupan umat Katolik Papua yang berakar kuat pada nilai kekeluargaan, solidaritas, dan iman yang sederhana namun mendalam.
Peserta dari Lima Keuskupan, Lima Warna, Satu Hati
PYD II tahun ini diikuti oleh kaum muda dari lima keuskupan yang tersebar di wilayah Papua:
- Keuskupan Agung Merauke
- Keuskupan Agats
- Keuskupan Jayapura
- Keuskupan Timika
- Keuskupan Manokwari-Sorong
Mereka datang dari berbagai latar belakang budaya, bahasa, dan pengalaman, namun disatukan oleh satu semangat: menjadi sahabat, keluarga, dan pembawa sukacita di Tanah Papua.
Dalam suasana Live In, sekat-sekat perbedaan itu seolah mencair. Tak ada lagi sekadar “peserta dari keuskupan lain”, yang ada adalah sahabat baru, saudara seiman, dan keluarga se-Tanah Papua. Mereka saling mengenal, berbagi cerita, belajar satu sama lain, bahkan saling menginspirasi untuk menjadi generasi muda yang peduli, tangguh, dan beriman.
Menimba Pengalaman Baru, Merajut Harapan Bersama
Selama kurang lebih 4 hari, para peserta PYD II larut dalam kehidupan masyarakat. Mereka belajar banyak hal yang tak akan ditemukan di ruang kelas atau seminar: Belajar kesederhanaan hidup dari keluarga-keluarga yang tetap setia dan bersyukur di tengah keterbatasan.Mengenal kearifan lokal, termasuk tradisi, musik, tarian, dan kisah-kisah leluhur yang menjadi warisan berharga. Mengalami kekuatan komunitas umat, di mana gereja bukan sekadar tempat ibadah, melainkan ruang kebersamaan, harapan, dan solidaritas. Memperkuat semangat persaudaraan, yang melampaui suku, bahasa, atau keuskupan asal.
Live In bukan hanya soal tinggal di rumah orang lain, melainkan tentang membuka hati, belajar menerima perbedaan, dan merajut tali persaudaraan dalam keseharian.
Sahabat Setanah Papua: Menjadi Keluarga, Bukan Sekadar Tamu
Salah satu momen paling berkesan dari Live In adalah ketika para peserta mulai dipanggil bukan lagi sebagai “tamu” melainkan “anak”, “adik”, atau “sahabat”. Keluarga-keluarga di paroki menyambut mereka dengan tangan terbuka, memberikan tempat tidur sederhana, makanan, dan tentu saja kasih sayang yang tulus.
Di situlah esensi PYD II benar-benar terasa. Bahwa menjadi Katolik di Papua adalah menjadi bagian dari keluarga besar, di mana setiap orang adalah saudara, setiap rumah adalah tempat bernaung, dan setiap perjumpaan adalah kesempatan untuk membangun kedamaian dan cinta kasih.
Para peserta membawa pulang lebih dari sekadar kenangan; mereka membawa pengalaman hidup, nilai persaudaraan, dan semangat untuk terus menjadi terang dan garam bagi tanah kelahiran mereka.
Live In: Fondasi Menuju Rangkaian PYD II
Live In ini bukan hanya kegiatan pembuka, tetapi menjadi fondasi kuat sebelum para peserta mengikuti rangkaian utama PYD II di Nabire. Dengan hati yang sudah terisi oleh pengalaman nyata bersama umat, mereka lebih siap untuk berdialog, berdoa bersama, dan merumuskan komitmen sebagai kaum muda Katolik Papua yang siap berkarya dan bersaksi.
Lebih dari itu, Live In menjadi bukti bahwa PYD II bukan sekadar event tiga tahunan, melainkan gerakan nyata membangun Papua yang lebih bersatu, lebih adil, dan lebih penuh kasih — dimulai dari kaum muda, untuk seluruh Tanah Papua.
“Dari Nabire, kita merajut persaudaraan. Dari keluarga-keluarga paroki, kita belajar menjadi sahabat se-Tanah Papua.”

