Uskup Keuskupan Agats Mgr. Aloysius Murwito, OFM share pengalaman penderitaan Covid-19 dalam Kotbah pada Perayaan Ekaristi Hari Minggu Biasa XXIV (12/09/21) di Gereja Katedral Salib Suci Agats.
“Saudara dan saudari yang terkasih, Tuhan Yesus mengajak kita pada hari ini untuk merenungkan mengenai hidup kita, khususnya apabila kita mengalami kesulitan, tantangan, bahkan penderitaan. Bagaimana kita harus menyikapinya, dan bagaimana kita harus menghayati hidup yang ditandai oleh kesulitan dan kesusahan hidup? Ada macam-macam bentuk penderitaan yang kita jumpai, kita alami, dan kita lihat disekitar kita. Salah satu bentuk penderitaan yaitu sakit.
Kebetulan saya, baru saja menderita sakit, dan sakitnya adalah sakit Covid-19. Dan saya termasuk seorang yang terkena Covid Panjang (Long Covid). Saya 2 bulan terkapar di Timika. 3 minggu dirumah sakit, opname dan sesudah itu saya boleh keluar untuk pemulihan, tetapi masih di dalam kompleks Rumah Sakit 2 minggu, dan kemudian minggu yang lain saya keluar Rumah Sakit dan tinggal di rumah transit kita di Timika, di Pondok Amor. 2 bulan itu saya merasakan, bagaimana sakit Covid atau sakit Corona itu. Mudah-mudahan saudara tidak terkena Covid ini. Ada banyak saudara yang juga terkena, tetapi 2 minggu itu biasanya sudah teratasi. Tapi saya (Bapa Uskup), kebetulan mungkin karena usia dan mungkin karena punya penyakit penyerta yang lain sehingga menjadi lebih lama.
Saya mau sedikit men-share-kan mengenai penyakit ini, yang saya alami, karena ini merupakan bentuk penderitaan yang berkaitan dengan Sabda Tuhan pada hari ini.
Memang sulit ya, menerima penderitaan dalam hidup. Saya juga merasa hari-hari itu terlalu lama. Sebetulnya kan, 1 hari 1 malam itu sama-sama 24 jam. Tetapi, 24 jam terus menerus ada di tempat tidur, rasanya lama sekali. Apalagi kalau biasa orang (termasuk saya) selalu memegang HP, tetapi teman-teman melucuti saya selama sakit. Saya tidak boleh menggunakan HP, HP saya diambil, 1 saya sembunyikan, kemudian mereka tahu, 1 lagi diambil. Jadi saya betul-betul telanjang dalam arti tidak punya apa-apa. Padahal HP bukan saja untuk berkomunikasi tapi juga ada lagu, ada Youtube-nya, ada berita-berita. Tapi ternyata itu juga diambil bukan supaya saya tambah menderita, tetapi diharapkan semakin konsentrasi pada proses penyembuhan saya.
Tapi memang sulit menerima penderitaan, kalau sulit itu akhirnya hari terasa lama, khawatir lalu sulit tidur, malam-malam itu hampir saya tidak tidur selama kurang lebih 2 minggu. Mata itu selalu terbuka, dan lihat plafon rumah sakit itu, dihitung berapa plafonnya, mungkin saya juga hitung jumlahnya berapa, dengan cicak yang ada di atas kadang-kadang lari ke sana lari ke sini.
Masih berat juga menahan ragawi ini. Jadi badan orang kena Covid, itu sungguh-sungguh menyerang radang paru-paru. Pernapasan itu menjadi lemah sekali. Saya merasakan itu. Saya tidak bisa turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi selama 3 hari pertama. Tergolek terus di kamar, di tempat tidur. Baru hari ke-4 saya bisa ke kamar mandi tetapi itu dengan berat sekali, amat terengah-engah. Sampai sekarang ini sebetulnya saya belum tuntas. Kalian bisa melihat Bapa Uskup omongannya masih kelihatan belum sehat. Tetapi ini, jauh-jauh sudah amat maju.
Nah, pertama memang merasakan mau menghindari penderitaan itu, kalau bisa cepat sembuh. Kami tidak mau masuk ke dalam situasi seperti ini.
Lalu yang kedua, saya merasakan dalam penderitaan ini tidak hanya sebuah beban yang saya harus pikul, yang berat, lalu ingat akan hidup dan mati, jangan-jangan saya ini akan menyusul Romo Henslok. Yang itu kamarnya ternyata saya tempati. Pastor Henslok itu Pastor SCJ, seorang Polandia, yang juga terkena Covid. hanya 5 hari berbaring di Rumah Sakit Mitra dan setelah itu habis, dipanggil Tuhan, dan saya sadar, mungkin 2-3 hari baru saya masuk kamar itu. Saya pikir juga mulai, jangan-jangan saya menyusul Romo Henslok. Sempat terpikir begitu.
Kalau orang menderita sakit, memang akhirnya itu teringat akan hidup dan mati, dan teringat akan surga dan neraka. Tentu saja juga teringat akan belas kasih Tuhan. Teringat juga akan Salib Kristus yang menebus kita, orang-orang berdosa. Ini semua terbawa di dalam benak ini.
Tetapi yang saya rasakan, salah satu hal yang positif, dalam penderitaan ialah saya tidak sendirian. Itu yang kuat dalam pengalaman penderitaan. Saya yakin, saudara-saudara mendoakan saya. Umat di Keuskupan melalui Pastor-Pastor, teman-teman yang sering mengirim berita akan didoakan Bapa Uskup. Ini sudah bisa ditangkap bahwa mereka berdoa bersama umat.
Yang kedua, kepedulian yang saya rasakan ialah teman-teman bukan saja dari Keuskupan tapi juga dari tempat lain. Saya, 2 hari pertama ada di Rumah Sakit, saturasi saya, oksigen saya, kadar oksigen itu masih dibawah 90. Sulit sekali naik diatas 90. 88 terus, sekitar itu, hingga Dokter dan Perawat itu agak pontang-panting bingung bagaimana menaikkan kadar oksigen saya karena harus diatas 90. Berarti normal itu sebetulnya 95, tapi untuk mencapai itu tidak bisa. Nah 2 hari pertama ada didalam krisis seperti itu. Baru pada hari kedua, sore hari, ternyata ada kiriman obat dari teman-teman di Jakarta yang tidak saya duga. Obat apa, saya juga tidak tahu, ada satu istilah, tetapi itu sebuah obat paket yang malam itu juga melalui infus dimasukkan kedalam tubuh saya. Ada 6 botol dimasukkan, kemudian malam berikut 6 botol lagi.
Dari situ kami merasakan ada sebuah perubahan yang agak cukup jelas, cukup besar, paling tidak, saturasi saya mulai menaik-naik menjadi 92-93. Dan ini membesarkan hati saya, tapi juga Perawat-perawat dan Dokter menjadi lebih bersemangat. Begitu dari hari ke hari saya merasakan terus menerus perasaan bahwa saya ada menderita dan saya tidak sendirian, tapi saya sungguh mendapatkan kekuatan dari banyak saudara yang mendoakan saya, tapi juga perhatian dan kepedulian.
Beberapa hari kemudian, mendapatkan kiriman lain yang namanya plasma. 2 kantong saya mendapatkan kiriman plasma. Jadi saya tidak hanya diobati, obat Covid yang biasa, tapi juga mendapatkan kiriman plasma, 2 kantong plasma, dan saya lihat kantong itu datang dari Rumah Sakit Gatot Subroto dari Jakarta. Memang sebelumnya beredar 1 video permohonan, siapa yang memiliki darah B dan pernah kena Covid, diharapkan ada kerelaan untuk menyumbangkan plasmanya, disumbangkan untuk saya. Ada 2 orang dari Timika yang menawarkan diri, tetapi akhirnya itu disediakan dari Jakarta, juga dari teman-teman yang tidak menyebut namanya. Bersama dengan itu, dikirim juga ikan salmon. Ikan yang dianjurkan untuk orang yang terkena Covid. Tidak tahu persis manfaatnya, tapi pasti menjadi sebuah protein yang amat berguna untuk menyembuhkan, mempercepat proses penyembuhan. Itu amat menyentuh dan amat mengharukan dari saudara-saudara ini.
Kalau ditelusuri sejak awal, itu sungguh saya masuk dalam situasi penderitaan tetapi juga merasakan campur tangan Tuhan, melalui banyak saudara. Bahkan waktu saya sakit disini, juga banyak saudara-saudara kami yang mengurus, Dokter dengan teman-teman. Hari yang kedua saya sakit disini, pagi perawat mengatakan akan dijemput dengan pesawat dari Timika. Itu juga tidak tahu siapa yang mengurus. Bukan dari Keuskupan sendiri, baru kemudian tahu ada sejumlah teman yang memang sepakat supaya saya bisa diobati di Timika.
Saya juga merasa sakit ini menjadi semakin ringan karena merasakan campur tangan Tuhan yang menolong kita, khususnya melalui banyak saudara-saudari entah dalam doa, entah dalam perhatian, entah dalam berbagai macam dukungan, merasakan yang berat itu menjadi ringan, dan akhirnya juga mempercepat progress menuju kepada kesembuhan. Begitu juga anda dalam keadaan masing-masing, semoga mengalami berkat-berkat dari Tuhan agar supaya kita bisa berani memasuki situasi hidup kita yang kadang-kadang sulit dan kita menjadi murid Yesus yang bijak. Amin”. *Simon P. Sarkol.