Judul tulisan di atas, merupakan tema yang dicanangkan oleh Bapa Suci Fransiskus pada Hari Minggu Komunikasi Sedunia yang lalu. Dalam semangat itu maka pada hari minggu sore tgl 16 Mei saya bersama Pastor Ino Rettobjaan dan Bpk. John Ohoiwirin mengunjungi stasi Esmapan, Yakapis, Weo dan Pupis. Stasi-stasi yang merupakan bagian wilayah pelayanan terjauh Pastor Paroki Sawa Erma beserta team Pastoralnya.
Rencana kunjungan ini sebenarnya sudah tahun lalu, tetapi sempat tertunda karena beberapa alasan. Sesudah dikomunikasikan lagi dengan Pastor Paroki – P. Vince Cole MM -, maka berangkatlah kami pada hari minggu itu sekitar jam 16.30 WIT dengan menggunakan speed boat 85 PK.
Puji Tuhan, cuaca sore hari itu baik. Yang tadinya mendung dan gerimis kini langit semakin terbuka dan terang sehingga kami merasa tidak perlu menggunakan jas hujan yang sudah disiapkan. Sementara kondisi air laut cukup tinggi dan ini memungkinkan kami melewati kali Pek –kali potong- dengan lebih mudah. Dari kali Pek kami masuk sungai Unir, kemudian masuk kali potong lagi lalu memasuki sungai Pomats. Dari situ kami lurus melaju melewati beberapa tanjung dan akhirnya tiba di Sawa menjelang petang hari. Pastor Vince dkk menyambut kami di pelabuhan pastoran.
Esmapan, Yakapis dan Weo
Senin, 17 Mei kami berangkat menuju Esmapan, Yakapis dan Weo. Sdr. Wahyu dan Frans, anggota team pastoral Sawa Erma yang juga mantan frater CICM, menemani kami dan menjadi penunjuk jalan menuju tempat itu. Perjalanan dari Sawa Erma menuju kedua kampung ini cukup jauh. Sekalipun menggunakan kendaraan cepat dengan kekuatan 85 PK, masih dibutuhkan waktu sekitar 2 jam menuju tempat itu. Dalam perjalanan Sdr Frans menceritakan bahwa pernah pada suatu kesempatan, perahu -long boatnya- yang hanya dengan mesin berkekuatan 15 PK sempat mogok lama di jalan. Padahal ia hanya sendirian menuju Yakapis. Kita bisa membayangkan bagaimana seorang diri di tengah sungai besar dan di hutan rimba. Cukup lama ia berjuang menghidupkan kembali motor itu. Dan syukurlah motor berhasil diperbaiki dan bisa jalan lagi. Berani juga mantan frater CICM ini secara sendirian mengunjungi umat yang terletak di hutan rimba.
Kampung pertama yang menjadi tujuan kunjungan kami adalah Esmapan. Sesudah perjalanan melewai sungai Ceres yang panjang dan meliuk-liuk mengitari banyak tanjung, sampailah kami ke pertemuan sungai ini dan sungai Mamat. Kami memasuki sungai Mamat menuju Esmapan dengan hati-hati karena dangkal. 20 menit kemudian tibalah kami di Esmapan. Sebuah kampung tidak terlalu besar dengan penghuni sekitar 30 kk dan jumlah umat di bawah 100 jiwa. Kami disambut beberapa orang dewasa, Bpk. Yohanes, Bpk. Mateus dan beberapa anak remaja lalu kami dibawa masuk ke Gereja. Sekitar 8 orang mereka duduk di lantai dan siap menerima kami. Dari awal percakapan menjadi jelas bahwa hampir semua warga kampung pergi keluar meninggalkan kampung. Karenanya terasa lengang. Ada yang cari makan dan ada yang pergi ke pusat Distrik Sawa Erma. Memang kunjungan ke pedalaman seperti ke Esmapan, bila jauh-jauh tidak dikomunikasikan, akan menjumpai sebuah kampung kosong.
Terasa kampung ini cukup terisolir. Mereka yang tinggal dan duduk bersama kami di gereja, bahasa Indonesianya tidak lancar. Sehingga percakapan harus beberapa kali diulang. Sejumlah informasi yang disampaikan dapat kami ketahui misalnya sekolah yang lama tidak jalan. Guru-gurunya pada pergi entah ke mana. Bisa dibayangkan bagaimana nasib anak-anak kita ini.
Saya bersama rombongan tidak lama berbincang-bincang dengan umat. Kami meningalkan gereja, berkeliling sebagian kampung, bertemu dengan sejumlah mama dan anak-anak kecil yang duduk di depan rumah. Setelah menyapa mereka, saya angkat seorang anak kecil dan membopongnya. Dalam hati saya akan menjadi apa anak ini di masa yang akan datang bila keadaan sekolah tetap seperti ini.
Kami melewati jalan dua papan yang dipasang memanjang, Bpk. Mateus menuntun saya untuk bisa jalan dengan aman. Nampak pekarangan kampung dikelilingi rumput-rumput ilalang yang tinggi dan rimbunnya pohon-pohon pisang. Menurut informasi Sebagian besar masyarakat pergi ke pusat Distrik Sawa Erma yang cukup jauh untuk menjual pisang-pisang ini dengan harga Rp. 5.000,- satu sisir. Tetapi bila pedagang yang membelinya satu sisir hanya akan dihargai Rp. 3000,- Saya mengelus dada mendengar keterangan itu. Ya ampun jauh-jauh amat melakukan perjalanan dengan motor tempel 15 PK bila membawa beberapa tandan pisang hanya akan memperoleh uang sedikit sekali. Akhirnya kami mohon pamit dan meninggalkan kampung Esmapan menuju kampung Yakapis.
Dari sungai Mamat kami kembali menuju sungai Ceres dan naik menuju kampung Yakapis. Dari Esmapan menuju Yakapis membutuhkan waktu sekitar satu jam. Kampung ini terletak diujung wilayah pelayanan paroki Sawa Erma. Sebuah kampung yang sudah mendekati daerah pegunungan. Di perjalanan kami melewati kampung Eroko, sebuah kampung protestan. Kami tidak singgah.
Sdr. Frans tak henti-hentinya memberi petunjuk kepada Sdr. Raymond, driver kami dengan mengacungkan tangan kanannya, memberikan gerak arahan kekiri dan kekanan kepada driver, supaya berjalan aman dan tidak menabrak kayu yang melintang atau tertancap di mana-mana.
Di sepanjang sungai kami melihat gundukan-gundukan pasir putih dan bukan lumpur lagi. Menurut keterangan di dekat kampung Yakapis kita bisa menemukan batu-batu besar.
Kampung Yakapis adalah kampung yang baru saja mengalami penderitaan akibat perang dengan kampung Aeroko. Kecuali kapela semua rumah penduduk di kampung itu dibakar habis oleh warga kampung Aeroko. Peristiwa itu terjadi sekitar satu tahun lalu. Entah apa persisnya yang menjadi masalah, yang jelas terjadi konflik antara dua kampung yang membawa korban jiwa dan kerugian materiil. Menurut Bpk Yohanes Kepala Kampung Yakapis, masalah sudah ditangani dan sudah damai kembali. Yakapis telah membayar denda kesalahan berupa satu long boat dengan motor tempelnya.
Kini rumah-rumah baru termasuk rumah adat (Jew) telah berdiri kembali. Mereka membangunnya dengan bahan-bahan setempat. Sementara Gereja sendiri masih utuh dan tidak turut dibakar.
Seperti di Esmapan, kampung ini terasa sepi dan kosong penghuni. Sebagian warga keluar entah pergi ke hutan dan mencari makan entah ke Distrik untuk cari-cari informasi mengenai dana ADD (Anggaran Dana Desa) atau menjual pisang sebagai penghasilan utama kampung itu .
Kami duduk di Gereja dengan sejumlah laki-laki dan perempuan yang tinggal dikampung. Nampak dua mama dari gunung ada di tengah-tengah mereka. Mama ini ternyata dari suku Amungme yang tinggal di Timika. Menurut ceritera, mereka sedang menunggu jemputan dari Timika atau dari Akimuga. Dari situ saya menangkap rupanya ada jalan sungai yang menghubungkan Yakapis dengan daerah pegunungan dan barangkali juga ada relasi antara warga Yakapis dengan warga gunung.
Dari sejumlah info yang kami terima mereka memiliki bahasa yang sama dengan warga masyarakat yang tinggal di Mumugu (dan Buagani). Saya merasa heran bagaimana dua kampung yang menurut saya amat jauh memiliki bahasa yang sama. Tetapi mereka tidak bisa menjelaskan dari rumpun apa mereka berasal.
Seperti di Esmapan, ada gedung sekolah tetapi tidak ada kegiatan belajar dan mengajar. Juga tidak ada petugas pelayan kesehatan di tempat itu. Maka bisa dibayangkan bagaimana bila terjadi sesuatu yang harus segera membutuhkan pertolongan. Sungguh terasa kami berada di daerah terpencil yang penduduknya masih terlantar.
Dalam percakapan dengan mereka muncul seorang anak muda yang terkena penyakit kusta. Nampak bagian telinga dan muka kulitnya menebal dan tidak merasakan apa-apa ketika dicubit kulitnya.
Setelah kami bercakap-cakap sebentar kami mohon pamit. Bapak Kepala Kampung, Bpk. Yohanes kembali menemani saya sembari kembali menuju kebun yang sedang dibuka. Ketika turun dari perahu menuju ke kebunnya ia meminta kopi bubuk dan gula. Ia ingin membuat minumam kopi itu di kebun. Sayang saya tidak membawa apa-apa, hanyalah beberapa bungkus kopi kemas yang kami bawa dan kami serahkan kepadanya. Sebelum turun perahu ia mengungkapkan keinginannya untuk menanam jagung. Bibitnya masih ditunggu. Bpk Frans menjanjikan untuk mendapatkan bibit itu dari Merauke. Dalam perjalanan kami singgah sejenak di sebuah pinggir sungai yang terlindung dari terik matahari, di bawah pohon yang rindang, kami berhenti sejenak dan membuka bekal yang disiapkan oleh Sdri. Nely dkk: Nasi dan ikan, juga air panas untuk membuat kopi.
Stasi Weo
Dalam perjalanan kembali menuju Sawa Erma, kami masih mampir di Weo. Waktu itu sudah mulai sore. Sekitar jam 15.30. Kampung nampak dihiasi dengan janur kelapa dan terlihat umat berhias diri. Ketika kami merapat di pinggir sungai, umat berkumpul dan berdiri di tepi jembatan. Kami dituntun naik dari perahu menuju gereja dengan ‘sorak sarai‘ kegembiraan dan tetabuhan tifa. Gereja penuh sesak . Baik anak-anak maupun kaum muda dan orang tua hadir di dalam gereja.
Saya menyampaikan kepada mereka bahwa saya datang untuk melihat langsung keadaan kampung-kampung pedalaman yang sampai sekarang belum sempat dikunjungi. Ingin bertemu dengan umat dan mendengar langsung dari umat tentang bagaimana hidup di kampung ini dan apa yang sedang diperjuangkan. Seorang bapak menyampaikan bahwa umat tetap bersemangat hidup menggereja. Mereka ingin agar supaya gereja ini diberi nama santo pelindung, kedua mereka ingin usaha peternakan. Seorang Kepala Kampung menyatakan keinginannya supaya Weo tetap merupakan bagian dari Paroki Sawa-Erma dan tidak diubah-ubah.
Saya berupaya mendengarkan curahan hati umat ini. Saya berharap team pastoral setempat ikut mendengarkan dan menjadi bahan pemikiran mereka juga. Atas permintaan mereka saya memberikan nama gereja ini adalah Geeja Santa Maria Ratu Perdamaian. Sesudah percakapan selesai kami rombongan minta pamit karena waktunya sudah semakin sore.
Hari kedua mengunjungi Pupis
Setelah bermalam lagi di pastoran, Selasa 18 Mei, kami mengunjungi Pupis. Kampung ini tidak terlalu jauh dari Sawa Erma. Karena sepanjang pagi itu hujan maka kami baru berangkat sekitar jam 09.30 WIT
Kunjungan hari kedua ini kami disertai oleh Sdri Rosa dan Sdr Ignas, anggota team pastoral yang lain dari paroki Sawa Erma. Perjalanan butuh waktu sekitar setengah jam. Seperti yang lain kami memasuki kampung melalui jalan kayu atau papan setapak. Maka saya berjalan selalu didampingi dan dituntun.
Prasarana jalan di Pupis cukup buruk. Jembatan-jembatan yang dibuat dari kayu kebanyakan tidak utuh lagi. Amat sering papan jalan jembatan yang sudah mulai longgar, dibiarkan begitu saja, tidak dipaku lagi. Malahan banyak papan seperti itu, dicongkel dan diambil untuk kayu bakar. Banyak jembatan yang mesti dilewati dengan penuh hati-hati karena sudah tidak ada papannya lagi. Seperti di mana-mana rasa tanggung jawab untuk menjaga dan merawat sarana dan prasarana jalan rendah sekali.
Kami agak lama duduk bersama umat di dalam gereja. Saya meminta perwakilan umat berceritera atau bicara apa saja yang ingin disampaikan kepada Bapak Uskup. Dimulai dari Bapak Ketua Dewan, Bapak Katekis, orang muda, bapak guru honorer, ibu perawat dari Yasa, mereka membagikan pengalaman dan keadaannya di kampung dari pelbagai bidang kehidupan.
Pelayanan dari Yayasan Alphonse Sowada melalui sepasang suami istri telah membuahkan hasil dimana satu bapa dan satu mama penderita kusta sembuh total. Penderita yang telah sembuh ini tampil ke depan memberi kesaksian. Ibu perawat itu menyampaikan bahwa di kampung Pupis masih ada sekitar 20 orang dalam status suspect penderita kusta. Dalam perjumpaan itu kami juga dihibur oleh anak-anak sekami yang menampilkan lagu-lagu rohani. Tak ketinggalan sekelompok orang muda juga tampil menyanyikan dua buah lagu. Bagus. Mereka berani tampil di depan umum.
Refleksi:
Banyak kesan dan keterangan yang bisa kami peroleh dalam perjalanan mengunjungi umat di beberapa kampung ini. Kita menjumpai komunitas-komunitas yang bergairah dalam menghayati iman kristianinya. Tetapi mereka masih mengalami sebuah kehidupan yang amat menantang dan jauh dari standar hidup yang layak.
Ada sejumlah bantuan dari Pemerintah: sarana dan prasarana, seperti jalan dan bangunan sekolah, namun tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Maka pengaruhnya dalam menunjang kemajuan pasti kecil sekali.
Masyarakat ini juga perlu dibantu dalam mendapatkan hak-haknya. Harga hasil bumi yang terlalu murah bila dijual di pusat Distrik menunjukkan bahwa segala jerih payah mereka belum dihargai dengan semestinya. Dengan kata lain saudara dan saudari kita belum diperlakukan secara adil.
Dari sisi kesehatan keadaannya juga masih memprihatinkan. Terdapatnya sejumlah saudara yang menderita sakit kusta memperlihatkan kualitas kesehatan masih rendah. Belum lagi penyakit-penyakit lain seperti penyakit kelamin yang menurut info juga semakin merebak.
Akhirnya kami menyampaikan banyak terimakasih kepada Pastor Paroki, Pastor Vince Cole beserta team pastoralnya yang dengan setia berupaya mendampingi perjalanan umat. Kesetiaan, kesabaran, pengurbanan, dan kasih yang luar biasa yang menyertai mereka bertahun-tahun di tengah umat yang masih kuat dikuasai oleh cara-cara hidup lama. Semoga Pastor Vince dan teman-teman dilimpahi berkat Tuhan.
Agats, Mei 2021
Uskup Alo Murwito